TAJOM.ID – Kebiasaan merokok kerap dikaitkan dengan efek menenangkan. Tidak sedikit perokok yang beranggapan bahwa sebatang rokok mampu meredakan stres, menenangkan pikiran, atau membantu mengatasi tekanan emosional. Pandangan ini telah mengakar di berbagai lapisan masyarakat selama puluhan tahun.
Namun, apakah benar merokok memiliki efek menenangkan secara ilmiah? Penelusuran terhadap bukti medis dan psikologis menunjukkan fakta yang lebih kompleks.
Klaim Tentang Rokok dan Ketenangan
Secara umum, perokok melaporkan bahwa merokok memberikan rasa rileks, membantu berkonsentrasi, atau memberikan kenyamanan dalam situasi penuh tekanan.
Dalam survei dan wawancara, alasan “mengurangi stres” sering muncul sebagai motivasi utama merokok, selain karena faktor sosial atau kebiasaan.
Namun, sebagian besar dari persepsi tersebut terbentuk melalui pengalaman subjektif dan bukan berdasarkan pemahaman menyeluruh terhadap reaksi fisiologis tubuh terhadap nikotin.
Kandungan Nikotin dan Efek Sementara
Nikotin, zat adiktif utama dalam rokok, memiliki efek stimulan sekaligus depresan terhadap sistem saraf pusat.
Saat nikotin masuk ke dalam tubuh, terjadi pelepasan dopamin dan neurotransmiter lain seperti serotonin dan norepinefrin yang berkaitan dengan rasa senang dan rileks.
Efek inilah yang menciptakan sensasi “tenang” dalam waktu singkat setelah merokok.
Namun, efek ini bersifat sementara dan menipu. Nikotin juga mempercepat denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, dan merangsang sistem saraf.
Dalam jangka panjang, tubuh menjadi terbiasa terhadap kehadiran nikotin, dan ketidakhadirannya justru menimbulkan kecemasan, iritabilitas, dan kegelisahan yang kemudian diredakan lagi dengan rokok.
Siklus ini menciptakan ketergantungan psikologis dan fisik yang memperkuat persepsi palsu bahwa merokok menenangkan.
Studi Ilmiah Membantah Efek Jangka Panjang
Berbagai studi ilmiah telah menunjukkan bahwa merokok tidak memberikan manfaat psikologis nyata dalam jangka panjang.
Penelitian dari British Medical Journal (BMJ) pada 2014 menyimpulkan bahwa berhenti merokok justru dikaitkan dengan penurunan tingkat kecemasan, depresi, dan stres.
Studi ini melibatkan lebih dari 26.000 partisipan dan menemukan bahwa mantan perokok melaporkan peningkatan kesehatan mental dalam waktu singkat setelah berhenti.
Sementara itu, laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyatakan bahwa merokok secara umum memperburuk gejala gangguan kecemasan dan depresi.
Nikotin mungkin memberikan kenyamanan sesaat, namun efek itu diimbangi oleh peningkatan risiko gangguan suasana hati akibat ketergantungan dan fluktuasi kadar zat kimia otak.
Efek Placebo dan Kekuatan Kebiasaan
Aspek psikologis lain yang memperkuat klaim bahwa merokok menenangkan adalah efek kebiasaan dan sugesti.
Merokok sering dilakukan dalam situasi tertentu: saat istirahat kerja, setelah makan, atau ketika berbincang dengan teman.
Situasi-situasi ini menciptakan asosiasi positif yang memperkuat keyakinan bahwa merokok membantu relaksasi.
Dalam beberapa kasus, efek yang dirasakan tidak berasal dari nikotin itu sendiri, melainkan dari ritual merokok, mengambil rokok, menyalakannya, menghembuskan asap.
Ini menciptakan efek placebo, di mana ketenangan yang dirasakan muncul bukan karena zat yang dikonsumsi, tetapi karena keyakinan terhadap efeknya.
Bahaya Psikologis dari Ketergantungan
Ketergantungan terhadap rokok justru dapat menimbulkan stres tersendiri. Saat kadar nikotin dalam darah menurun, tubuh merespons dengan gejala putus nikotin seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, dan perubahan suasana hati.
Hal ini menciptakan siklus yang merugikan secara psikologis: perokok merasa cemas karena kekurangan nikotin, lalu merokok lagi untuk meredakannya.
Kondisi ini berbeda dengan relaksasi alami yang bisa diperoleh melalui aktivitas seperti meditasi, olahraga, atau tidur cukup.
Cara-cara tersebut tidak menimbulkan ketergantungan atau efek samping merugikan seperti yang ditimbulkan oleh konsumsi nikotin.
Perspektif Medis dan Kesehatan Masyarakat
Dari sudut pandang medis dan kesehatan masyarakat, klaim bahwa merokok menenangkan pikiran dianggap sebagai mitos yang membahayakan.
Banyak kampanye antirokok yang menekankan bahwa persepsi ini justru memperkuat ketergantungan dan menghambat upaya berhenti merokok.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berbagai lembaga kesehatan global menekankan pentingnya edukasi publik tentang fakta ilmiah ini.
Penguatan intervensi berhenti merokok, termasuk dukungan psikologis dan terapi pengganti nikotin, dinilai lebih efektif dalam mengelola stres secara sehat.
Penutup
Merokok mungkin memberikan rasa tenang sesaat, namun kenyamanan itu bersifat semu dan diperoleh melalui mekanisme ketergantungan.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa rokok tidak benar-benar menenangkan pikiran dalam jangka panjang. Sebaliknya, kebiasaan ini memperburuk kondisi psikologis, meningkatkan stres, dan memicu gangguan suasana hati.
Mengandalkan rokok untuk mengatasi tekanan emosional bukan solusi yang sehat, melainkan jebakan yang memperkuat siklus ketergantungan dan membahayakan kesehatan secara menyeluruh.