TAJOM.ID – Ada satu kenyataan pahit yang terus diulang dalam sejarah pemerintahan daerah: ketika rakyat menuntut pembangunan, pejabat sibuk membangun kenyamanan diri. Renovasi rumah dinas pimpinan DPRD Sarolangun dengan anggaran miliaran rupiah adalah satu lagi contoh memalukan dari wajah kekuasaan yang kehilangan arah.
Sementara rakyat Sarolangun masih bergulat dengan lumpur di jalan rusak, belajar di ruang kelas yang reyot, atau mengantri di Puskesmas tanpa dokter, para pemimpin daerahnya sibuk memoles rumah dinas, memasang pendingin ruangan canggih, mengganti gorden mewah, hingga menyiapkan tempat tidur baru yang empuk. Tak cukup hanya itu, mereka bahkan membangun gazebo cantik dan studio video — semua dibayar dari kantong rakyat.
Pertanyaannya sederhana: untuk siapa semua kemewahan ini? Untuk rakyatkah? Untuk kepentingan umumkah? Atau hanya demi ego, demi gengsi kekuasaan, demi kepuasan pribadi para elite yang tak pernah kenyang memakan anggaran?
Saat Presiden RI menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang jelas-jelas memerintahkan pemangkasan belanja tidak produktif, penghematan, dan fokus pada program prioritas rakyat, pemerintah daerah seperti Sarolangun justru menunjukkan sikap sebaliknya: seolah-olah Sarolangun adalah kerajaan kecil yang kebal terhadap instruksi pusat.
Ini bukan lagi soal kebijakan salah arah. Ini soal pengkhianatan moral. Ini soal pejabat yang sudah kehilangan rasa malu. Mereka bicara soal kesejahteraan rakyat, tapi kenyamanan pribadi yang terus mereka utamakan. Mereka mengumbar janji pembangunan saat kampanye, tapi saat berkuasa yang pertama mereka renovasi adalah kamar tidur mereka sendiri, bukan ruang kelas anak-anak di pelosok.
Ironinya, rakyat selalu disuruh sabar. Disuruh mengerti bahwa APBD terbatas, bahwa pembangunan butuh waktu, bahwa jalan rusak akan diperbaiki nanti. Tapi untuk menghamburkan miliaran rupiah demi kasur empuk, waktu dan dana selalu tersedia. Tidak ada rapat panjang untuk memutuskan itu, tidak ada keluhan soal keterbatasan anggaran, tidak ada janji “nanti” — semua berjalan cepat, mulus, rapi, tanpa beban.
Inilah penyakit kekuasaan: kesadaran bahwa mereka bisa melakukan apapun tanpa konsekuensi. Karena siapa yang akan melawan? Siapa yang berani mengusik kenyamanan elite? Rakyat sibuk bertahan hidup, sementara suara-suara kritis kerap dipinggirkan, dilemahkan, atau bahkan diberi “pemanis” agar diam.
Yang paling memprihatinkan adalah betapa normalnya ini dianggap. Tak ada kegaduhan, tak ada guncangan politik. Sebuah renovasi rumah dinas miliaran rupiah seakan-akan hanyalah aktivitas birokrasi biasa, padahal di balik setiap rupiahnya ada hak rakyat yang dirampas.
Mari berhenti sejenak dan bayangkan:
Berapa rumah layak huni untuk warga miskin yang bisa dibangun dari dana miliaran itu?
Berapa kilometer jalan desa yang bisa diaspal?
Berapa ruang kelas yang bisa diperbaiki agar anak-anak belajar lebih layak?
Berapa Puskesmas yang bisa direnovasi untuk memastikan rakyat mendapatkan layanan kesehatan yang manusiawi?
Semua itu pupus, hilang, tergantikan oleh proyek-proyek memanjakan diri yang tidak memberi manfaat apapun bagi rakyat. Dan lebih parahnya, rakyat tetap dibebani tanggung jawab sebagai pembayar. Rakyat yang menanggung pajak, rakyat yang dikorbankan, rakyat yang terus diminta bersabar — sementara elite hidup di atas kasur empuk yang mereka beli dari keringat rakyat sendiri.
Ini bukan soal nominal. Ini soal keadilan. Ini soal integritas. Ini soal kualitas moral para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan, bukan penghisap anggaran.
Dan kalau tidak ada yang berani menentang, kalau suara publik tetap diredam, kalau media lokal tetap bungkam, kalau organisasi mahasiswa tetap sibuk dengan urusan internal, maka pemborosan ini akan terus berlangsung. Tidak hanya tahun ini, tapi tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya. Ini akan menjadi pola kekuasaan yang diwariskan, diwariskan, dan diwariskan — sampai rakyat tidak lagi punya harapan pada perubahan.
Maka jangan heran kalau rakyat semakin apatis. Jangan heran kalau suara-suara sinis bermunculan. Karena bagaimana mungkin rakyat percaya pada janji pembangunan, kalau yang pertama dibangun selalu rumah para pejabat? Bagaimana mungkin bicara soal komitmen nasional, kalau di tingkat lokal saja instruksi presiden bisa diabaikan tanpa konsekuensi?
Ingatlah satu hal: legitimasi kekuasaan sejatinya lahir dari kepercayaan publik. Dan setiap tindakan pemborosan seperti ini adalah paku demi paku yang memaku mati kepercayaan itu. Ketika rakyat sudah muak, ketika rakyat sudah berhenti berharap, ketika rakyat sudah berhenti bicara, maka kekuasaan daerah tidak lagi berdiri di atas pondasi demokrasi, tapi hanya di atas rapuhnya ilusi kekuasaan itu sendiri.
Sarolangun, bangkitlah. Jangan biarkan daerah ini ditelan kebobrokan moral elite-nya sendiri. Jangan biarkan uang publik terus dihisap demi kenyamanan segelintir orang. Jangan biarkan kekuasaan berjalan tanpa pengawasan. Karena di tangan rakyatlah, sesungguhnya, wajah pemerintahan daerah ini ditentukan.
Oleh: Ahmad Fadillah Zurdi (Mahasiswa Fakultas Hukum Univeraitas Jambi)
Discussion about this post