TAJOM.ID, JAMBI – Rijal Lumban Gaol, mahasiswa Universitas Jambi (UNJA) menyatakan keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan yang terus meluas di kawasan Tanah Batak. Ia menyoroti aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan yang telah beroperasi sejak 1983 di Provinsi Sumatera Utara, sebagai penyebab utama krisis ekologis di wilayah tersebut.
Kerusakan yang ditimbulkan, antara lain berupa banjir bandang, tanah longsor, pencemaran tanah, air, dan udara, hingga hilangnya lahan produktif milik masyarakat adat. Dampak tersebut, menurut Rijal, semakin hari semakin parah dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
Gelombang penolakan terhadap PT TPL pun terus disuarakan oleh para aktivis dan kelompok peduli lingkungan dengan slogan “Tutup TPL” sebagai bentuk solidaritas atas kerusakan yang terjadi.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, PT TPL menguasai konsesi hutan seluas 167.912 hektare. Namun di lapangan, wilayah konsesi ini masih kerap tumpang tindih dengan lahan adat, memicu konflik berkepanjangan.
“Saya sebagai putra Tanah Batak sangat prihatin atas kerusakan yang ditimbulkan oleh PT TPL yang beroperasi di berbagai daerah. Banyak pihak telah dirugikan, termasuk masyarakat adat seperti Sorbatua Siallagan dari Sihaporas, Dolok Parmonangan, yang harus berhadapan dengan pengadilan karena menyuarakan penolakan terhadap TPL,” kata Rijal.
Ia juga menyinggung sejumlah bencana dan konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, seperti banjir di Tapanuli Utara (30 Desember 2024), tanah longsor di Bakkara (2 Desember 2023), serta konflik agraria di Kecamatan Parlilitan.
Kasus kekerasan dan pemblokiran akses hutan adat oleh PT TPL terhadap masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan dan Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, juga disebut sebagai bukti nyata dari ketimpangan relasi antara korporasi dan warga.
“Kami sangat mengharapkan perhatian serius dari pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo, untuk menindaklanjuti persoalan ini. Apalagi beliau mengusung konsep ekonomi hijau dalam delapan Asta Cita yang dicanangkan,” tegas Rijal.
Ia juga menyatakan dukungannya terhadap perjuangan para aktivis lingkungan, termasuk suara tegas dari Ephorus HKBP Pdt. Victor Tinambunan, LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil yang menolak keberadaan PT TPL.
Meski PT TPL disebut telah memberikan lapangan kerja bagi sebagian warga, Rijal menilai hal tersebut tidak sebanding dengan kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Danau Toba.
“Maka dari itu, saya mengajak seluruh lapisan masyarakat adat Batak untuk bersama-sama menyuarakan penolakan terhadap TPL. Jangan takut bersuara. Tanah ini milik kita, bukan milik TPL,” seru Rijal.
Melalui media sosial, Rijal mengajak masyarakat luas untuk menyuarakan keprihatinan yang sama. Ia menutup pernyataannya dengan slogan: “Arga do Bona Ni Pinasa Di Akka Na Bisuk Marroha”—yang berarti: jika kita mencintai rumah kita, sudah sepatutnya kita bersatu melawan pihak-pihak yang merusaknya. (*)