Oleh : Makhmudah
TAJOM.ID – Indonesia berada di puncak bonus demografi, sebuah fase langka dalam sejarah bangsa ketika mayoritas penduduk berada di usia produktif. Menurut BPS, lebih dari 70 persen penduduk Indonesia pada 2024 termasuk usia kerja (15–64 tahun). Fase ini diproyeksikan berlangsung hingga 2040. Namun, pertanyaan besar pun mengemuka: apakah Indonesia sedang memetik manfaat bonus ini, atau justru diam-diam menciptakan generasi produktif yang kehilangan arah?
Bonus demografi sejatinya adalah peluang, bukan kepastian. Ia hanya akan menjadi anugerah jika disertai dengan strategi pembangunan manusia yang sistematis dan berkelanjutan. Tanpa arah yang jelas, bonus demografi bisa berbalik menjadi bencana sosial-ekonomi: pengangguran muda, kemiskinan struktural, dan meningkatnya beban fiskal negara.
Antara Potensi dan Kenyataan
Dalam banyak wacana resmi, bonus demografi sering digambarkan sebagai peluang emas. Namun, di lapangan, fenomena pengangguran usia muda, ketimpangan digital, dan skill mismatch justru semakin nyata. Per Maret 2025, data BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka masih 6,7 persen, dengan mayoritas berasal dari kalangan muda.
“Kita punya jumlah usia produktif yang sangat besar, tapi sistem pendidikan dan pelatihan belum mampu mengarahkan mereka sesuai kebutuhan dunia kerja,” kata Dr. Rina Amalia, Ekonom UI (Seminar SDM UI, 14 Mei 2025).
Sementara itu, kondisi ekonomi makro menambah tekanan. Suku bunga tinggi akibat kebijakan moneter global membuat sektor swasta berhati-hati membuka lapangan kerja. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers 20 Juni 2025, menegaskan pentingnya menjaga stabilitas, meskipun konsekuensinya adalah lambatnya ekspansi sektor riil.
Krisis Arah: Kebijakan Masih Terkotak
Pemerintah telah menjalankan berbagai program: Kartu Prakerja, pelatihan vokasional, hingga Magang Kampus Merdeka. Namun, kebijakan yang ada masih terfragmentasi, belum terintegrasi dalam kerangka besar pembangunan SDM jangka panjang.
Ekonom senior Dr. Faisal Basri, dalam diskusi LPEM UI, 7 Juni 2025, menyampaikan kritik tajam: “Kita butuh peta jalan jangka panjang, bukan program insidental. SDM bukan soal pelatihan sesaat, tapi soal arah dan visi.”
Hal senada disampaikan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, saat Forum Ekonomi Nasional, 10 Juni 2025. Beliau mengingatkan bahwa tanpa kualitas manusia yang memadai, bonus demografi hanya akan menjadi tekanan anggaran dan sumber ketimpangan.
Jalan Panjang Pembenahan SDM
Laporan McKinsey & Company pada 1 Juni 2025 menyebutkan, jika dikelola dengan strategi yang tepat, bonus demografi bisa menyumbang tambahan 1,5–2% pertumbuhan PDB tahunan hingga 2040. Namun jika gagal, Indonesia justru akan menghadapi risiko terjebak dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Maka dari itu, investasi pada pendidikan, kesehatan dasar, literasi digital, dan kewirausahaan pemuda harus menjadi prioritas jangka panjang. Negara perlu berpikir melampaui angka statistik — menuju upaya menciptakan manusia Indonesia yang tidak hanya terampil, tetapi juga berpikir kritis, berdaya saing, dan punya arah hidup yang jelas.
Penutup
Bonus demografi bukan hadiah, melainkan tanggung jawab sejarah. Jika generasi produktif kita saat ini tidak diarahkan dan dimampukan, mereka bukan hanya akan kehilangan masa depan mereka sendiri, tetapi juga membebani masa depan bangsa.
Indonesia tidak kekurangan energi muda — yang kita butuhkan adalah peta jalan yang jelas. Agar bonus ini tetap menjadi berkah, bukan berubah menjadi beban yang diam-diam kita wariskan.
Penulis : Mahasiswa Magister Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta