TAJOM.ID, JAMBI – Maraknya kasus korupsi yang mencuat di berbagai sektor pemerintahan Indonesia kembali mengusik kesadaran publik akan rapuhnya sistem ketatanegaraan yang ideal. Hanrailes, seorang mahasiswa Hukum dari Universitas Jambi, menyampaikan pandangannya bahwa demokrasi Indonesia masih bersifat prosedural dan belum sepenuhnya menyentuh aspek substantif.
Menurut hemat penulis, demokrasi sejati tidak cukup hanya dengan terselenggaranya pemilu dan pergantian kepemimpinan secara berkala. Demokrasi yang ideal harus berpihak pada rakyat, menghadirkan keadilan sosial, transparansi, dan kesejahteraan bersama.
Korupsi menjadi ancaman serius terhadap makna demokrasi itu sendiri. Berdasarkan Fraud Triangle Theory, tindakan korupsi umumnya dipicu oleh tiga faktor: motivasi, kesempatan, dan rasionalisasi. Dalam konteks birokrasi Indonesia, lemahnya pengawasan sistemik membuka celah bagi para pelaku untuk menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi.
Salah satu contoh nyata terjadi di Provinsi Jambi dalam kasus yang melibatkan mantan Gubernur Zumi Zola Zulkifli. Ia diduga menerima suap dari kontraktor proyek guna meloloskan pengesahan RAPBD provinsi. Kasus tersebut mencerminkan adanya motivasi ekonomi, lemahnya sistem pengawasan, serta pembenaran internal yang dilakukan oleh pelaku untuk merasionalisasi tindakannya.
Oleh karena itu, tantangan terbesar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini bukan hanya korupsi, tetapi juga dominasi oligarki dalam pengambilan keputusan serta rendahnya literasi politik masyarakat. Reformasi hukum dan penguatan mekanisme checks and balances antar-lembaga sangat mendesak.
Lebih lanjut, memperluas partisipasi publik melalui edukasi politik yang merata dan penyediaan ruang diskusi yang sehat menjadi hal yang sangat penting. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa melangkah menuju demokrasi yang lebih bermakna dan berpihak pada rakyat.
Penulis : Hanrailes Sianturi