TAJOM.ID – Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sarolangun untuk periode 2025–2029 menjadi tonggak penting di awal kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Hurmin dan Gerry Trisatwika. Rencana ini bukan sekadar dokumen formal birokrasi, melainkan peta jalan pembangunan daerah lima tahun ke depan yang akan sangat menentukan nasib masyarakat Sarolangun.
Namun, apakah RPJMD ini benar-benar akan menjadi panduan yang menyelesaikan persoalan struktural daerah, atau justru menjadi sekadar rangkaian janji politik yang kehilangan arah saat masuk tahap implementasi?
Dalam proses penyusunannya, seperti yang disampaikan oleh Plt. Kepala Bappeda Sarolangun, Hj. Maria Susanti, RPJMD ini telah melewati Forum Konsultasi Publik (FKP) dan akan segera dikonsultasikan ke DPRD serta Pemerintah Provinsi Jambi.
Penyusunan ini juga berpedoman pada Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2025. Secara administratif dan prosedural, ini patut diapresiasi. Akan tetapi, persoalan pembangunan tidak cukup diselesaikan melalui prosedur teknokratis semata.
Visi “Sarolangun MAJU” memang terdengar inspiratif. Namun, keberhasilan visi ini bergantung sepenuhnya pada bagaimana misi yang diturunkan diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret, tepat sasaran, dan mampu menjawab persoalan mendasar di lapangan.
Misalnya, misi untuk membangun kemandirian ekonomi berbasis potensi sumber daya lokal terdengar ideal, tetapi belum ada penjelasan lebih lanjut bagaimana misi ini akan berhadapan dengan realitas dominasi ekonomi ekstraktif seperti industri sawit yang merusak lingkungan, atau bagaimana menghadapi ketimpangan ekonomi antar wilayah di kabupaten ini.
Lebih lanjut, perlu dikritisi apakah visi dan misi dalam RPJMD ini telah merespons peristiwa besar yang terjadi belum lama ini: banjir besar di awal 2024. Apakah penyusunan RPJMD mempertimbangkan kegagalan pengelolaan lingkungan yang menjadi akar banjir tersebut?
Apakah pembangunan infrastruktur yang dicanangkan benar-benar berbasis mitigasi bencana dan pemulihan ekosistem? Atau malah mengulang pola pembangunan yang eksploitatif dan reaktif?
Sejauh ini, belum tampak keberanian dalam RPJMD untuk secara eksplisit menyentuh persoalan sensitif seperti pengawasan terhadap ekspansi perkebunan sawit yang selama ini menjadi penyumbang kerusakan lingkungan di Sarolangun.
Padahal, banjir dan kerusakan ekologis tidak bisa hanya diselesaikan melalui slogan pembangunan infrastruktur atau pelayanan publik yang cepat tanggap. Diperlukan pendekatan yang lebih ekologis dan berkelanjutan, termasuk implementasi nyata dari kebijakan seperti ISPO dan RAD-KSB.
Di sisi lain, komitmen pada “pelayanan publik yang berorientasi cepat dan berakhlak” hanya akan menjadi jargon jika tidak disertai reformasi birokrasi secara menyeluruh. Masyarakat Sarolangun membutuhkan pemerintahan yang responsif, transparan, dan benar-benar hadir menyelesaikan persoalan rakyat kecil—bukan hanya sibuk menyusun dokumen, rapat koordinasi, dan seremonial formal.
Akhirnya, kita sebagai masyarakat sipil, termasuk kalangan mahasiswa, harus mengawal RPJMD ini agar tidak menjadi dokumen elitis yang hanya diketahui oleh segelintir pejabat. RPJMD harus dibuka secara luas untuk publikasi dan kritik. Rencana yang baik adalah rencana yang hidup dalam partisipasi masyarakat, bukan yang mati di meja birokrasi.
RPJMD adalah janji. Tapi janji itu hanya akan bermakna jika ditepati melalui kerja nyata dan keberanian menghadapi kenyataan. Jika tidak, maka RPJMD Sarolangun 2025–2029 hanya akan menjadi catatan panjang dari daftar mimpi yang tidak pernah terwujud.
Penulis : Muhammad Okta Prihatin | Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Jambi